Jejak : Di Balik Keputusan Mengajar di Daerah Terpencil

Mengajar di daerah terpencil adalah salah satu impian bagi saya. Impian yang muncul saat semester dua kuliah S1. Saat itu, saya mengikuti Seminar Indonesia Mengajar yang diadakan LSO Cendikia (Salah satu lembaga di bawah fakultas keguruan). Acara itu, menghadirkan Anies Baswedan penggagas program Indonesia Mengajar. Di situ, hadir pula beberapa guru yang telah mengikuti program mengajar di daerah terpencil.

Mereka menceritakan bagaimana perjuangan mereka membantu anak-anak bangsa memperoleh hak mereka. Yah, hak mendapat pendidikan yang layak. Saat itu juga, aku dan temanku (yang saat ini kabarnya masih proses skripsi) bertekad untuk mengajar di ujung-ujung Indonesia.

Beberapa hari setelah seminar itu aku pulang ke rumah. Kepulangan yang terpaksa. Saat itu tanganku tengah retak karena sebuah pertandingan silat. Aku mewakili universitas dalam Pekan Olahraga Mahasiswa (POMDA). Na’asnya, itu terjadi saat selangkah lagi mengikuti final. Di kepulanganku, aku mengutarakan niat untuk mengajar di daerah terpencil pada ibuku. Saat itu, Ibu mengiyakan saja dengan syarat harus berhenti bertanding silat. Hanya boleh berlatih dan bermain seni, tidak bertanding. Aku mengiyakan saja, dan berniat fokus menyelesaikan studi. Supaya bisa cepat mengajar di daerah terpencil.

Mimpi mengajar di daerah terpencil. Aku terus memupuk mimpi itu, dan memperoleh banyak kekuatan darinya. Kekuatan untuk belajar lebih banyak. Sehingga, aku tidak pernah absen menghadiri kuliah. Dan aku merasa, ada perasaan ‘ingin segera cepat mengajar’. Aku tidak puas hanya belajar di kampus. Akhirnya aku mengikuti seleksi sebagai Trainer Pelatihan TIK bagi mahasiswa baru. Jadilah, setahun itu aku mendampingi mahasiswa baru belajar TIK.Di situ, sambil mengajar, aku terus belajar meningkatkan kemampuan mengajar.

1002739_147742582085342_762342662_n

             Menjadi Co. Trainer P2KK UMM Angkatan 2 Tahun 2013

Setelah setahun, kontrak menjadi Trainer TIK habis. Di tahun berikutnya, aku bergabung menjadi Co.Trainer Program Pembentukan Kepribadian dan Kepemimpinan (P2KK). Tugasku mendampingi mahasiswa baru, sesekali memberikan materi. Tidak berlangsung lama. Karena terbentur PPL, KKN, dan mulai padatnya aktivitas menjadi koordinator liputan di koran kampus. Tapi banyak pelajaran berharga dari kegiatan ini. Terutama bagaimana menghadapi orang lain dan memahami mereka.

Setelah mengalami berbagai hal di dunia kampus, akhirnya pada Mei 2014 aku resmi menyelesaikan pendidikan. Dan di saat itu pula, tengah dibuka pendaftaran mengajar di daerah terpencil melalui Program Sarjana Mendidik Daerah 3T (SM-3T). Setelah mengikuti tes online, wawancara, dan tes kesehatan. Akhirnya aku bisa lolos dan menjadi salah satu peserta.

Hari Keberangkatan Menuju Provinsi Sulawesi Utara

Hari Keberangkatan Menuju Provinsi Sulawesi Utara

Setelah berhasil, jalanku tidak mulus. Karena saat itu nenek dan kakakkku, tidak sepenuhnya mengizinkan. Nenekku berkata, “tidak baik anak bungsu merantau, apa yang mau dicari?”. Kakakku berkata, “Tidak baik anak kecil merantau, anak perempuan satu-satunya pula?”. Saat itu aku menjawab, “aku ingin melihat Indonesia. Aku ingin mengajar anak yang benar-benar membutuhkan. Aku ingin, meski hanya sekali saja seumur hidupku, aku bermanfaat bagi negeri ini. Bukan hanya di lagu yang selalu dinyanyikan. Dan bukan hanya di artikel yang ditulis, dan bukan hanya kata-kata”. Ayah dan ibuku yang membujuk nenek dan kakakku agar percaya padaku. Setelah semua itu, akhirnya terwujudlah salah satu mimpiku. Mengajar di daerah terpencil, Kampung Bawoleu namanya.

6 thoughts on “Jejak : Di Balik Keputusan Mengajar di Daerah Terpencil

  1. Pingback: Mengeksplorasi Keindahan Pantai Toka Kecil : Pilih Jalan Darat atau Laut ? | JEJAK LANGKAH

  2. Pingback: Sain Widianto: Alasan Generasi Muda Perlu Andil Mengajar di Pelosok Negeri | JEJAK LANGKAH

Leave a reply to jejakpengabdian Cancel reply